Aku, Chairil, dan Bapaknya Shin-chan
Dimulai dengan disclaimer untuk pembaca: berhubung saya engga mahir-mahir amat ngulas sastra, ada baiknya tulisan ini dipandang sebagai pelengkap nyemil aja, jangan diseriusin. Oke, mulai.
Rasanya saya ngga perlu menjelaskan siapa itu Chairil Anwar, since dia mungkin adalah simbol yang bisa dipertukarkan dengan frasa Puisi Indonesia. Lagian, hampir semua anak Indonesia yang bersekolah pasti pernah dapat pelajaran puisi beserta karya penyair-penyair kanon di kelas Bahasa Indonesia. Mustahil kalau nama Chairil tidak ada.
Buat saya personal, cuma ada dua penyair Indonesia yang levelnya GOAT (Greatest of All Time): Chairil Anwar dan Sapardi Djoko Damono. Bayangkan mereka adalah LeBron James dan Michael Jordan di basket, atau Messi dan Ronaldo di sepakbola. Kenapa dua nama itu? Karena buat saya, kekaryaan puisi-puisi mereka akan tetap relevan — paling tidak — 150 tahun ke depan.
Sensitivitas emosional pada puisi Chairil melapaui tata bahasa puisinya yang mungkin agak sulit dicerna memakai bahasa Indonesia masa kini; serasa ada api abadi di dalam puisi-puisinya. Sapardi memainkan diksi demi diksi secara cerdas, menawarkan bentuk keindahan liak-liuk bahasa yang ngga pernah saya lihat di penyair lain — ada, tapi ngga sekuat Sapardi. Api abadi Chairil dan keluwesan air Sapardi.
Balik ke Chairil, saya punya banyak sekali puisi favorit dari beliau. Tapi, dari semua, yang 20 tahun terakhir paling mengganjal adalah puisi “Aku”. Betul, puisi yang menjadi judul buku — karangan Sjumandjaja — ketika AADC pertama tayang (2002). Waktu itu saya ngga paham segimana dampak eksposure sastrawinya, denger-denger katanya sih lumayan ningkatin minat sastra di masyarakat (ngga pake sumber, jangan dipercaya).
Puisi ini tiba ke saya di tiga timeline yang berbeda. Pertama, pas masih SMP dan belajar mengulas puisi. Kedua, pas kuliah ketika dihadapkan pada manuskrip utuh Chairil. Ketiga, saat ini, pas udah melewati usia Chairil dan tengah berjuang mencari pundi-pundi rupiah. Tiga fase ini memberi interpretasi yang berbeda ke puisi “Aku”.
Di fase pertama, saya masih dibantu arahan guru tentang konteks sejarah saat puisinya ditulis: jaman penjajahan Jepang. Akhirnya saya membaca puisi ini sebagai warta historis aja. Chairil si penyair menulis puisi dengan kosakata ‘peluru’ ‘luka’ ‘hidup 100 tahun lagi’ sebagai wujud tekad untuk merdeka dan lainnya. Otak bocah SMP macem saya cuma sanggup nafsirin sampai situ.
Di fase kedua, saya sudah dapat pencerahan lebih tentang perjalanan Chairil ke Jakarta, kisah cintanya, latar sosial kepenyairan secara umum pada masa itu (Pujangga Baru, Balai Pustaka, dll), juga kedeketan tema romantisisme Eropa. Tafsir saya pun datang dari kacamata eksistensialisme, Chairil muda yang kurang lebih seumuran dengan saya memandang dunianya di tahun 40-an. Ia ingin hidup dengan keutuhan diri. Auk artinya apa.
Di fase ketiga, yakni sekarang, datang lagi tafsir baru, yang jauh lebih sederhana tapi nuncep. Jangan-jangan kita semua adalah si aku dalam puisi ini. Saban ngelihat twitter — plis X ga enak ditulis — isinya keluhan sandwhich generation, disparitas sosial-ekonomi, dan banyak penderitaan. Ngobrol dengan temen-temen juga lagi struggling dengan pekerjaan, cinta, keluarga, ekonomi, dan sejuta tekanan sosial. Sama, saya juga.
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup 1000 tahun lagi!
Paham kan, ya? Dalam konteks urban, kita adalah subyek yang menderita, teramat menderita. Memaksakan diri ngantor karena ada tanggungan. Percis seperti yang ditulis Chairil, kita babak belur tapi keep going. Mulai kebal, ngga peduli lagi. Puisi “Aku” ini tentang kita semua yang hidupnya terbentur mulu, tapi yaudah terima aja.
(Bener-bener ngga ilmiah analisis di atas)
Lanjut.
Dan kalau harus menobatkan tokoh fiksi yang paling Aku, pastinya Hiroshi Nohara atawa Babe-nya Shinchan. Kenapa beliau? Berikut alasannya….
YA KARENA HIROSHI INI HIDUPNYA KAYAK KITA.
Commuting tiap hari, suka lembur, gaji so-so, slow learner, kurang ambis, kalau lagi fucked up mabok. Betul tidak?
Untungnya dia punya keluarga kecil yang suportif — ngga, ini bukan satir. Misae the hardworking housewife, Himawari yang lucu, Shiro yang putih, Shinchan yang awokwokwok. Kerennya lagi, dia berani ambil KPR rumah sampai 32 tahun! Meskipun endingnya meledak itu rumah :(
Kurang mirip apa coba kita sama Hiroshi? Padahal pas dulu nonton kayaknya ngga ada yang peduli sama dinamika kehidupan si Hiroshi, fokusnya sama Shinchan, Misae, dan aktivitas di Taman Kanak-Kanak. Pas umur-umur segini baru dah pas liat Hiroshi serasa berkaca.
Hiroshi adalah representasi manusia urban kelas pekerja; dan kelas pekerja, atau buruh, adalah entitas yang terwakili sepenuhnya di puisi Aku.